Pencegahan terhadap penyakit jantung selama ini lebih terpusat pada upaya mengontrol kadar LDL (low density lipoprotein) atau akrab disebut kolesterol jahat dalam darah. Namun, sebuah penemuan baru yang dilansir lembaga R3I (Residual Risk Reduction Initiative) Indonesia menyebutkan, kejadian atherogenic dyslipidemia (kelainan kolesterol) justru menjadi pemicu terjadinya gangguan pada pembuluh darah--sebagai faktor penyebab serangan jantung koroner atau stroke.
"Semua orang meributkan LDL atau kolesterol jahat sebagai biang kerok terjadinya serangan jantung dan stroke, padahal kejadian atherogenic dyslipidemia efeknya lebih dashyat," kata Prof dr Slamet Suyono MD komisioner R3I Indonesia yang juga Ketua Perhimpunan Penyakit Aterosklerosis dan Penyakit Vaskuler Indonesia, disela peluncuran R3I Indonesia, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Karena itu, lanjut Prof Slamet Suyono, meski LDL seseorang berada di batas normal, serangan jantung atau stroke tetap bisa terjadi jika kadar atherogenic dyslipidemia-nya di atas normal. Untuk mengetahui kadar atherogenic dyslipidemia harus diperiksa melalui pemeriksaan darah di laboratorium.
"Itu sebabnya, meski sudah dilakukan terapi terhadap kadar LDL dalam darah, banyak pasien jantung dan gangguan pembuluh darah lainnya yang tidak bisa diselamatkan. Ternyata faktor penyebabnya kadar atherogenic dyslipidemia berada di atas ambang batas," ujarnya.
Hal senada dikemukakan komisioner R3I lainnya, dr Ketut Suastika. Kadar kolesterol awalnya memang menjadi fokus perhatian pengobtan penyakit jantung, namun seiring perkembangan ilmu kedokteran, kelainan atherogenic dyslipidemia juga harus mendapatkan pengobatan sesuai standar.
"Justru atherogenic dyslipidemia inilah yang memberi kontribusi terbesar atau 70 persen pada kasus penyakit jantung dan stroke," kata Suastika.
Artheogenic dyslipidemia, lanjut Suastika, muncul pada kasus-kasus obesitas (kegemukan). Orang yang seak kecil mengalami kegemukan, memiliki peluang lebih besar untuk memiliki atherogenic dyslipidemia.
Prof Slamet menjelaskan, kolesterol yang merupakan substansi lemak terdapat dalam setiap sel tubuh. Selain sebagai sumber energi seperti halnya lemak, kolesterol juga berperan dalam pembentukan hormon dan membran sel. Di dalam tubuh, kolesterol berkaitan dengan substansi protein membentuk ikatan kompleks lemak-protein alias lipoprotein.
"Jika substansi kolesterolnya lebih banyak dari protein akan membentuk senyawa lipoprotein berkepadatan rendah atau LDL. Sebaliknya, kalau kolesterolnya lebih sedikit sedangkan proteinnya lebih banyak, ikatannya dinamakan lipoprotein berkepadatan tinggi (high density lipoprotein/ HDL) atau dikenal dengan sebutan kolesterol baik," paparnya.
Endapan Lemak
LDL disebut kolesterol jahat karena LDL banyak mengandung lemak yang memudahkan terbentuknya endapan lemak pada dinding dalam pembuluh darah, yang biasa disebut arteriosklerosis. "Makin lama endapan bisa makin tebal, sehingga menyumbat saluran pembuluh darah. Nah, dari sinilah awalnya penderitaan PJK," ucapnya.
Sementara HDL kadar lemaknya sedikit dan proteinnya jauh lebih tinggi. Kondisi itu membantu mengusir kolesterol LDL yang jahat dari jaringan tubuh. Prosesnya sederhana. Jika pembuluh darah lebih banyak diisi oleh HDL, maka LDL tak akan kebagian banyak tempat di dalam pembuluh darah. Sehingga tidak terjadi endapan lemak pada dinding pembuluh darah. "Nah, karena jasanya itulah maka HDL dinamai kolesterol baik," ujarnya.
Profil lemak pada umumnya diperiksa setelah subjek berpuasa selama 6-8 jam. Profil lemak yang normal adalah sebagai berikut: (1) kadar kolesterol darah di bawah 200 mg/ dl, (2) kadar kolesterol LDL di bawah 150 mg/dl, (3) kadar kolesterol HDL diatas 35 mg/dl, dan kadar trigliserida di bawah 200 mg/dl.
"Kadar kolesterol HDL yang rendah, seringkali disertai dengan kadar trigliserida yang tinggi. Hal itu memicu terjadinya atherogenic Dyslipidemia," ucapnya.
Ditambahkan, faktor genetik, konsumsi makanan, dan pola hidup ikut berperan dalam terjadinya dislipidemia. Kurang lebih kemungkinan 1 per 500 orang memiliki kecenderungan untuk mempunyai kadar trigliserida darah yang tinggi. Pola pewarisan ini ada pada kekerabatan tingkat pertama (anak, saudara kandung, dan orang tua).
"Konsumsi makanan tinggi lemak juga meningkatkan kadar LDL dan trigliserida darah. Peningkatan dapat pula dipacu oleh merokok atau konsumsi obat-obatan tertentu (misalnya: pil komtrasepsi dan obat steroid). Diabetes juga meningkatkan kadar trigliserida darah. Obesitas dan kurang aktivitas fisik juga secara konsisten dihubungkan dengan kemungkinan dislipidemia," tuturnya.
Kadar kolesterol darah yang tinggi tidak memberikan gejala yang spesifik. Hal itu menyebabkan kadar kolesterol darah yang tinggi juga dijuluki sebagai the silent killer. "Pasien datang berobat ketika telah muncul komplikasi pembuluh darah. Proses atherosclerosis tetap berjalan tanpa ada keluhan pasien," ucap Prof Slamet Suyono.
Berbagai penelitian epidemiologi secara konsisten menghubungkan peningkatan risiko stroke pada penyandang dislipidemia. Peningkatan 1 mmol/ L (38,7 mg/dL) kadar kolesterol darah total akan meningkatkan risiko stroke sebesar 25 persen. Di lain sisi peningkatan 1 mmol/ L kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) akan menurunkan risiko stroke sebesar 47 persen. (Tri Wahyuni)
*Suara Karya*