Setelah melewati 13 tahun, setahun lalu tulang belakangnya dicek lagi. "Sudut kemiringannya bertambah sekitar 26 derajat," kata Dewi dalam testimoni video saat acara diskusi mengenai nyeri tulang belakang di Rumah Sakit Internasional Bintaro, Kamis lalu. Walhasil perempuan berusia 28 tahun itu memiliki sudut kemiringan sebesar 74 derajat.
Skoliosis, menurut konsultan ortopedi tulang belakang Rumah Sakit Internasional Bintaro, Dr Luthfi Gatam, SpOT, Spine Surgeon (K), adalah gejala kelainan bentuk tulang belakang. "Keadaan kelainan ini umumnya tidak diketahui penyebab utamanya apa," kata dia setelah menjadi pembicara diskusi.
Salah satu penyebab skoliosis yang tidak diketahui ini disebut idiopatik, sedangkan penyebab lainnya bisa kongenital (bawaan) dan neuromuskuler (pengendalian otot yang buruk). Menurut dia, 80 persen penderita skoliosis masuk kategori idiopatik.
Penyebab skoliosis juga tidak bisa dikatakan berasal dari gaya hidup. Misalnya beban berat seperti tas gemblok atau yang jinjing tidak konsisten dengan kelengkungan tulang belakang seseorang. Namun, beban berat itu secara pelan-pelan bisa menyebabkan kelengkungan tulang belakang.
Ia mencontohkan, jika awalnya sudut kemiringan 20 derajat, dalam enam bulan kemudian bisa menjadi 30 derajat. "Semakin matang (mature) tulang itu, maka biasanya semakin progress derajat kemiringannya."
Skoliosis idiopatik dengan kelengkungan atau kurva kurang dari 10 derajat menimpa 10 dari 30 orang. Umumnya menyerang remaja usia 10 hingga 18 tahun. "Paling sering usia 12 sampai 14 tahun," kata dokter flamboyan ini.
Skoliosis jenis ini memiliki gejala awal tulang belakang yang melengkung ke arah samping atau tulang bahu atau pinggul kiri dan kanan yang tidak simetris--tidak sama tingginya. Deteksi dini bisa dilakukan dengan meminta penderita membungkuk ke depan dan dilihat bahunya dari posisi kepalanya. "Kalau tidak sama, itu pasti skoliosis," ujarnya ketika dihubungi dalam kesempatan terpisah.
Jika pada perkembangannya kurva melebihi 40 derajat, sang penyandang masuk kategori skoliosis berat. Komplikasinya bisa gangguan napas, saraf, irama jantung, gangguan pergerakan tubuh, hingga kelumpuhan. Misalnya kelengkungan itu condong ke kanan, sehingga membuat jarak antara tulang dada kanan dan tulang belakang kanan mendekat. Kondisi ini membuat ruang paru-paru yang berada di antara dua tulang vital itu menjadi menyempit.
Untuk pengobatannya, akan dilakukan atas dasar derajat dan lokasi kelengkungan, serta stadium pertumbuhan tulangnya. Setelah diobservasi, jika kurva kurang 20 derajat, tidak perlu dioperasi. Penyandang hanya dianjurkan melakukan terapi non-operatif. Untuk terapi ini, Spine Center RS Bintaro memiliki program latihan documentation based care (DBC). Latihan ini memakan waktu selama enam pekan yang terdiri atas 12 sesi.
Namun, jika melebihi 40 derajat, seperti dialami Dewi, akan dilakukan tindakan operasi. Menurut Luthfi, seusai pembedahan, bila diperlukan akan dipasang brace untuk menstabilkan tulang belakang pasien dan tidak terjadi progres kemiringan lagi. Alat ini seperti korset khusus yang di-mplant di lokasi yang bengkok.
Sementara itu, Dewi dalam testimoninya, setelah operasi menyatakan tulang belakangnya yang bawah berubah menjadi 15 derajat dan yang atas menjadi 0 derajat.
Setelah dioperasi, pasien skoliosis idiopatik bisa hidup secara aktif, meski tidak bisa selayaknya atlet apabila melakukan olahraga. "Yang ringan saja seperti berenang," tuturnya. Biaya operasi? Rp 40 juta hingga Rp 50 juta. "Harganya nomor dua dari biaya operasi jantung."
Pembicara lain, spesialis rekam medik, Dr Peni Kusumastuti, mengatakan kondisi fisik seperti perut buncit juga bisa memicu terjadinya nyeri tulang belakang. "Beban yang berlebihan yang ditopang tulang belakang bisa mencederai sendi-sendi tulang belakang," katanya.
Di rumah sakit itu, dari 416 kasus masalah nyeri tulang belakang, 17 di antaranya skoliosis. Paling banyak adalah backpain, yakni 399 kasus. Jadi, berhati-hatilah!
HERU TRIYONO
Tempo 2009